Iklan

Cerita Penjinakan di Barak Militer untuk Binatang-Binatang Bandel

narran
Rabu, 14 Mei 2025 | Mei 14, 2025 WIB Last Updated 2025-05-14T11:47:24Z
Cerita Penjinakan di Barak Militer untuk Binatang-Binatang Bandel
Foto: AI Generative Image

NARRAN.ID, SASTRA -- Di sebuah hutan yang katanya makin tidak beradab lagi, para penghuni tua sepakat bahwa dunia terlalu gaduh untuk terus dibiarkan begitu saja. Mereka rapat. Mereka sibuk menyusun peta perilaku ideal. Mereka menentukan arah angin, arah tidur, bahkan arah tatapan mata. Tak boleh sembarangan lagi seekor kijang tersenyum. Tak boleh seekor burung bernyanyi sebelum aba-aba. Maka dibuatlah sebuah tempat yang katanya bisa merapikan jiwa—tempat yang disebut Barak.

Barak bukan sekadar kandang. Ia adalah mimpi buruk yang dipoles dengan jargon disiplin. Di dalamnya, anak-anak binatang—yang disebut liar karena terlalu banyak bertanya—dipaksa berdiri lurus, makan di waktu yang sama, tidur di bawah sirene, dan menyebut “ya” sebelum berpikir. Mereka disuruh menanggalkan insting, membuang tanya, dan mengenakan seragam warna abu yang bikin mata rabun terhadap pelangi.

Para penghuni tua menyebut ini cinta. Cinta kepada masa depan. Tapi cinta jenis ini aneh. Ia datang dengan teriakan, hukuman push-up, dan ancaman dicukur botak. Cinta yang lebih mirip trauma masa lalu yang dibungkus dengan stempel resmi.

Di luar pagar barak, para burung dewasa mengangguk-angguk. Mereka berkata ini lebih baik daripada membiarkan generasi muda terus terbang sembarangan. Padahal burung yang tak boleh sembarangan terbang akan kehilangan peta pulang. Mereka lupa bahwa kegaduhan anak muda adalah musik, bukan teror. Bahwa gaduh bukan berarti rusak. Bahwa melawan bukan selalu tentang dendam.

Pendidikan yang sejatinya taman, kini berubah jadi pagar kawat. Ia bukan lagi tempat menumbuhkan akar, melainkan tempat mencabut semak liar. Anak-anak yang semula berisik kini memang lebih diam. Tapi diam yang tumbuh dari takut bukanlah tanda sadar. Itu cuma taktik bertahan. Seperti kucing yang diam karena diikat, bukan karena paham aturan makan.

Di tengah sunyi itu, tak ada yang bicara soal rasa. Yang penting semua berjalan rapi. Yang penting tak ada lagi yang loncat pagar. Yang penting barisan penuh, kepala menunduk, dada tegap, dan suara seragam.

Yang aneh, semakin jinak anak-anak itu, semakin gaduh para penjaga barak. Mereka berkata misi berhasil. Mereka mencatat angka keberhasilan. Tapi tak satu pun dari mereka tahu isi kepala anak-anak itu. Tak satu pun tahu mimpi apa yang tertimbun di balik mata yang mulai kosong.

Mereka tidak sadar bahwa ketertiban bisa dibeli dengan harga yang terlalu mahal. Dan harga itu adalah hilangnya rasa ingin tahu. Hilangnya makna bertanya. Hilangnya keberanian untuk tidak setuju. Barak bukan sekolah. Ia pabrik keseragaman. Ia mesin fotokopi yang bekerja siang malam untuk memproduksi generasi patuh yang tak tahu kenapa harus patuh.

Di ujung cerita, para binatang bandel memang berubah. Mereka tak lagi melompat. Tak lagi teriak. Tak lagi mencoret-coret dinding. Tapi sesuatu dari mereka ikut mati. Yang mati itu bukan tubuh. Bukan suara. Tapi bagian dalam yang dulu bernyanyi. Bagian yang mengira bahwa hidup adalah petualangan, bukan perlombaan menunduk.

Dan di luar pagar, para burung tua menepuk sayap, bangga. Mereka pikir mereka telah berhasil mendidik. Padahal mereka hanya berhasil menjinakkan.

Yang tragis, mereka tak sadar, mereka pun sudah lebih dulu dijinakkan.


Penulis: Afiq Naufal

#Sastra #Militer #Sipil #BarakMiliter

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Penjinakan di Barak Militer untuk Binatang-Binatang Bandel

Trending Now