![]() |
Sumber foto: Warner Bros |
NARRAN.ID, SASTRA -- Ketika James Gunn mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan semesta DC Studios, banyak penggemar dan pengamat berharap bahwa dia akan mengembalikan karakter Superman ke akarnya yang paling esensial. Harapan itu bukan sekadar mengarah pada kembalinya sosok alien dengan kekuatan super yang tak tertandingi, melainkan pada kembalinya Superman sebagai simbol harapan, kebenaran, dan kemanusiaan universal. Namun, dalam realisasinya yang dinantikan, film Superman yang digagas Gunn justru dituduh “terlalu woke” oleh sebagian kritikus internasional. Ironisnya, tuduhan ini muncul bukan karena konten seksual yang eksplisit atau karena memaksakan politik identitas tertentu, melainkan karena Superman yang digambarkan terlalu manusiawi—terutama dalam penolakannya yang tegas terhadap genosida dan segala bentuk ketidakadilan berskala besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apa sebenarnya yang kini dianggap "kontroversial" dalam narasi pahlawan super.
Kritik yang Membelokkan Makna Universal
Beberapa reviewer internasional menuduh film ini secara halus menyisipkan pesan yang dianggap “terlalu politis.” Tuduhan ini terutama tertuju pada adegan krusial ketika Clark Kent, dalam perannya sebagai Superman, dengan tegas menolak pembenaran genosida atas nama ketertiban, stabilitas, atau perdamaian. Dialog yang disampaikan dalam adegan tersebut, meskipun tidak secara langsung menyebut entitas spesifik seperti Israel atau Palestina, secara kontekstual dibaca dan ditafsirkan oleh sebagian penonton sebagai kritik terselubung terhadap agresi militer Israel di Gaza dan pendudukan wilayah Palestina. Penafsiran ini, yang sering kali bersifat subjektif dan terpolitisasi, secara cepat mengubah pesan kemanusiaan universal menjadi isu geopolitik yang sangat sensitif.
Dampak dari penafsiran semacam itu tak bisa dihindari. Para penonton dan kritikus yang secara terbuka mendukung Israel merasa tersinggung, bahkan sampai menyebut film ini sebagai “alat propaganda anti-Semit.” Pernyataan ini sungguh mengherankan, mengingat pesan inti film itu justru bersifat universal dan fundamental: menentang pembunuhan massal dan penindasan, tak peduli siapa pelakunya atau apa pun latar belakang konflik tersebut. Ini adalah contoh klasik dari distorsi makna: ketika seseorang atau sebuah karya menolak pembantaian yang tidak manusiawi, mereka justru dituduh anti-sekelompok tertentu, seolah-olah genosida adalah bagian sah atau inheren dari identitas kelompok tersebut. Bukankah tuduhan semacam itu, pada dasarnya, justru merupakan penghinaan yang jauh lebih besar terhadap kelompok yang diwakilinya? Seolah-olah menolak genosida sama dengan menolak identitas sebuah kelompok, padahal seharusnya genosida ditolak oleh semua manusia beradab, tanpa memandang afiliasi
Superman sebagai Cermin Moral Dunia
Dari awal mula penciptaannya, karakter Superman bukan sekadar tentang tampilan kekuatan fisik yang superior atau kemampuan terbang di angkasa. Esensi dari Superman selalu tentang pilihan. Itu adalah pilihan untuk tidak menggunakan kekuatan dahsyatnya demi dominasi atau penindasan. Itu adalah pilihan untuk menyelamatkan nyawa, bukan menaklukkan dunia. Itu adalah pilihan untuk melindungi yang lemah, bukan mengeksploitasi mereka. Dalam film yang digarap James Gunn ini, tampaknya ia kembali menegaskan nilai fundamental tersebut: bahwa kekuatan yang besar harus selalu dibatasi oleh moralitas dan etika yang kuat. Superman, sebagai alien yang dibesarkan di Bumi dan dididik dengan nilai-nilai kemanusiaan, menjadi representasi yang kuat dari harapan abadi bahwa peradaban bisa menjadi lebih baik, lebih adil—dan ya, lebih berani mengatakan “tidak” pada kekejaman dan ketidakadilan yang merajalela.
Ketika sikap moral yang begitu mendasar dan universal ini dicap sebagai 'woke', itu menunjukkan betapa jauhnya sebagian wacana publik telah terseret oleh arus propaganda politik yang manipulatif. Menolak pembantaian atau genosida bukanlah ideologi kiri atau kanan; itu bukan platform politik konservatif atau liberal. Itu adalah hal paling dasar dari kemanusiaan itu sendiri. Mengapa menegakkan prinsip kemanusiaan kini dianggap sebagai sesuatu yang radikal atau patut dicemooh? Ini adalah cerminan dari masyarakat yang kian terfragmentasi, di mana nilai-nilai universal pun diwarnai oleh lensa politik yang sempit.
Narasi 'Anti-Woke' sebagai Alat Perlindungan Kekuasaan
Kita hidup di era ketika label 'woke' digunakan bukan lagi untuk mengkritisi kepalsuan, kemunafikan, atau kepura-puraan yang mungkin terjadi dalam gerakan kesadaran sosial. Sebaliknya, label itu kini berfungsi sebagai alat ampuh untuk membungkam dan mendiskreditkan nilai-nilai dasar seperti keadilan, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Ketika sebuah film berani menunjukkan penderitaan korban perang yang tak bersalah, atau secara tegas menolak membenarkan kekerasan massal atas nama ideologi atau tujuan tertentu, ia dicap sebagai terlalu politis atau bahkan subversif. Namun, perlu kita renungkan: apakah diam atas kekejaman dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita justru bukan sikap paling politis dan paling pengecut? Bukankah ketidakpedulian adalah bentuk dukungan terselubung terhadap status quo yang menindas?
James Gunn, melalui film Superman ini, mungkin tidak sedang bicara tentang konflik Israel atau Palestina secara spesifik. Argumennya jauh lebih universal. Ia bicara tentang tanggung jawab besar yang melekat pada kekuatan, tentang pilihan moral yang harus diambil setiap individu, dan tentang keberanian untuk menjadi baik di dunia yang tampaknya kian menormalisasi kejahatan. Jika pesan yang begitu fundamental dan etis ini dianggap ofensif atau memicu kemarahan, maka masalahnya bukan terletak pada filmnya itu sendiri, melainkan pada nurani mereka yang merasa tersindir oleh panggilan untuk kemanusiaan. Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk memeriksa kembali nilai-nilai yang kita junjung.
Akhir Kata: Kemanusiaan Tidak Perlu Minta Maaf
Superman yang kita lihat di film terbaru ini bukanlah simbol dari bangsa, ras, agama, atau kelompok politik tertentu. Ia adalah representasi murni dari hati nurani kolektif umat manusia—sebuah hati nurani yang menolak untuk diam dan memejamkan mata di hadapan pembantaian, apapun konteksnya, dan di mana pun itu terjadi. Ketika pesan yang begitu mendasar tentang kemanusiaan ini justru dipermasalahkan dan menuai kontroversi, kita patut bertanya: apa yang sebenarnya sedang ditakutkan oleh para pengkritik itu? Mengapa mereka merasa terancam oleh seruan untuk empati dan penolakan terhadap kekerasan ekstrem?
Penulis: Syarfrialz
#Superman #JamesGunn #Woke #Kemanusiaan #Genosida #Propaganda #DCComics