![]() |
| Sumber: Greenpeace |
Setiap tahun kita mengulang ritual yang sama: memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Tetapi di tengah deretan poster dan slogan, Indonesia kembali menghadapi kenyataan pahit, korupsi bukan hanya merugikan anggaran, tetapi merenggut nyawa dan menghancurkan ruang hidup.
Lihatlah apa yang terjadi di Sumatera, termasuk Aceh.
Ketika banjir bandang datang, ketika longsor menghancurkan rumah-rumah, ketika masyarakat mengungsi sambil membawa sisa hidupnya, pemerintah selalu menyebutnya “bencana alam”. Padahal, sebagian bencana itu adalah bencana moral. Bencana yang lahir dari pembiaran dan korupsi.
Data KPK menunjukkan bahwa lebih dari 50% kasus korupsi 2025 berasal dari pemerintah daerah. Banyak di antaranya terkait dengan tata kelola sumber daya alam, perizinan tambang, hingga proyek infrastruktur yang kualitasnya dipangkas demi “Keuntungan Segelintir”.
Dan kita tahu, korupsi di sektor perizinan tambang, kehutanan, dan tata ruang adalah penyebab langsung dari deforestasi, kerusakan DAS, banjir, dan longsor, termasuk yang terjadi di wilayah Sumatera.
Ketika hutan di tebing gunung digunduli, bukan karena kebutuhan rakyat, tapi karena izin diberikan secara ugal-ugalan. Ketika tanggul jebol, bukan karena alam tak bersahabat, tetapi karena anggaran konstruksi disunat.
Ketika penanganan bencana lambat, bukan karena tak ada sumber daya, tetapi karena logistik bencana dijadikan ladang bancakan.
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang antikorupsi, sementara warga Aceh Besar, Sumatera Barat, dan wilayah lain harus mengungsi setiap tahun akibat kerusakan yang sebagian disebabkan keputusan buruk pejabat yang rakus?
Bagaimana mungkin kita merayakan Harkordia, sementara korupsi terus menjadi akar dari bencana ekologis yang menghancurkan hidup ribuan keluarga? Ini ironi yang terlalu pahit untuk sekadar kita biarkan berlalu.
Karena itu, izinkan satu refleksi sederhana namun tegas:
Jangan lagi memperingati Harkordia, bila korupsi masih menjadi penyebab rakyat kehilangan rumah, tanah, dan masa depannya.
Harkordia tidak boleh lagi menjadi seremonial kosong. Ia harus menjadi tamparan. Pengingat keras bahwa korupsi tidak hanya merusak birokrasi, tetapi merusak hutan, merusak sungai, merusak kota dan merusak hidup rakyat.
Selama izin tambang masih dibarter, selama penegakan hukum masih bisa dinegosiasi, selama proyek publik masih menjadi “kesempatan”, maka bencana akan tetap datang, bukan karena alam memusuhi kita, tetapi karena integritas dikorbankan demi keuntungan.
Harkordia bukan untuk dirayakan, melainkan untuk menggugat.
Penulis:
Dafa Jihad Sabilah


