![]() |
Sumber foto: AI Generate |
"Budaya adalah ruang pemersatu, bukan alat pencitraan politik. Kami menghormati keputusan pemerintah, tapi kami ingin menjaga agar semangat Hari Kebudayaan tetap murni dari agenda kekuasaan," kata Sekretaris Fraksi PDIP DPR RI, Aria Bima, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan.
Penetapan Hari Kebudayaan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025, yang diteken pada awal Juli. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa penetapan 17 Oktober merujuk pada momen penting dalam sejarah kebangsaan, yakni ditetapkannya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam PP Nomor 66 Tahun 1951. Ia membantah adanya unsur politis.
“Kebetulan saja tanggal tersebut sama dengan hari ulang tahun Presiden terpilih. Tidak ada kaitan langsung,” ujarnya seperti dikutip dari Antara News.
Namun penjelasan itu tidak serta-merta meredam kontroversi. Pengamat budaya dari Universitas Indonesia, Dr. Reni Kartika, menilai pemerintah sebaiknya lebih inklusif dalam merumuskan penetapan hari nasional semacam ini. “Budaya adalah milik kolektif. Harus ada ruang partisipasi publik yang lebih luas, bukan keputusan yang terlihat dari atas ke bawah,” ujarnya.
Dari sisi legislatif, beberapa anggota Komisi X DPR mengaku tidak dilibatkan secara formal dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Esti Wijayati dari Fraksi PDIP menyampaikan keprihatinan atas minimnya dialog. “Kalau memang serius mau menetapkan Hari Kebudayaan, ya seharusnya duduk bersama dulu dengan komunitas budaya dan DPR,” katanya kepada Detik.com.
Kritik juga datang dari kalangan seniman. Budayawan asal Yogyakarta, Butet Kartaredjasa, menganggap langkah pemerintah tersebut sebagai bentuk "kegenitan politik" yang seolah hendak menempelkan nilai luhur budaya ke dalam kepentingan kekuasaan.
“Saya khawatir semangat budaya yang seharusnya menyatukan bangsa justru digunakan untuk memperkuat simbol tertentu,” ujar Butet dalam wawancara dengan Tempo.
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil seperti Koalisi Kebudayaan Nasional menilai bahwa terlepas dari siapa tokoh politiknya, penetapan Hari Kebudayaan seharusnya berangkat dari konsensus budaya, bukan momentum politik.
Menanggapi berbagai kritik, Kementerian Kebudayaan berjanji akan membuka ruang dialog lebih luas dengan para pelaku budaya dan akademisi dalam proses sosialisasi Hari Kebudayaan Nasional ke depan.
#PDIP #FadliZon #HariKebudayaan #Prabowo