![]() |
Sumber: Qisqus |
Diskursus soal artificial intelligence alias
akal imitasi seakan tak pernah sepi. Belum lama, lini masa dipenuhi dengan tren
mengubah foto menjadi ilustrasi AI bergaya Studio Ghibli. Tentu, tak sedikit
yang menentang keras karena isu etika dan idealisme seni.
Seminar soal pemanfaatan AI, baik di lembaga pemerintahan
maupun swasta, juga tak pernah sepi, khususnya sebagai strategi mendorong
produktivitas serta efisiensi. Wakil Presiden kita pun dalam beberapa
kesempatan membahas soal pentingnya anak-anak muda menggunakan AI.
AI jelas memiliki banyak potensi positif bagi umat manusia.
Namun, ada baiknya kita tetap bijak dalam menggunakan AI. Sebagaimana
penemuan-penemuan teknologi lain, AI tidaklah bebas dari masalah. Kemajuan
internet memunculkan masalah-masalah baru di bidang keamanan siber.
Penetrasi masif media sosial memunculkan masalah baru, mulai
dari radikalisme, polarisasi, masalah perilaku remaja, hingga brain rot.
AI pun demikian, tanpa batasan dan mitigasi risiko yang jelas, sejumlah dampak
buruk siap mengintai.
Leha-Leha Kognitif
Riset dari Carnegie Mellon University dan Microsoft Research
Cambridge berjudul ”The Impact of Generative AI on Critical Thinking” yang
terbit belum lama ini cukup mengkhawatirkan. Studi tersebut melakukan survei
terhadap ratusan pekerja di bidang pengetahuan (knowledge workers)
terkait penggunaan generative AI, seperti ChatGPT dan Copilot.
Hasil riset menunjukkan bahwa ketergantungan berlebih terhadap AI bisa
berdampak buruk terhadap kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah
penggunanya.
Temuan ini sejatinya sejalan dengan pemaparan Wendy Suzuki,
ahli saraf dan profesor di New York University, dalam bukunya, Healthy
Brain, Healthy Life. Otak sejatinya tidak jauh berbeda dengan otot manusia.
Semakin sering digunakan dan dilatih, maka kinerja otak kita juga akan semakin
optimal.
Otak yang sehat dan sering dilatih akan memiliki kemampuan
mengingat yang lebih baik, sanggup berpikir kritis, juga berpikir kreatif.
Sebaliknya, otak yang jarang digunakan untuk berpikir keras lama-kelamaan juga
akan semakin tumpul. Penelitian-penelitian terkait fungsi otak di usia pensiun
menemukan hal yang sama: semakin aktif digunakan, semakin terjaga kesehatan dan
kondisinya. Sebaliknya, kaum lansia yang seusai lansia otaknya jadi pasif kian
cepat menuju fase deteriorasinya.
Maka, sudah layak dan sepantasnya kita waspada terhadap
ketergantungan AI. AI yang begitu memudahkan kita mendapat jawaban dalam
hitungan detik, membuat otak jadi ”malas” berpikir. Otak tidak terbiasa
berpikir mendalam, tidak terpapar dengan pengambilan kesimpulan yang
sistematis, serta tidak terbiasa memecahkan masalah kompleks.
Dalam Taksonomi Bloom, kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah termasuk dalam higher-order thinking skills alias kemampuan berpikir tingkat lanjut. Seseorang bisa dibilang menguasai satu bidang jika bisa mencapai level tersebut.
Di level bawah alias lower-order thinking skills,
terdapat kemampuan mengingat sebuah informasi, memahami sebuah konsep, dan
mengaplikasikan konsep di berbagai konteks. Sementara higher-order
thinking skills meliputi kemampuan analisis, sintesis, hingga evaluasi
dan penciptaan pengetahuan baru.
Meski berada di level bawah, bukan artinya lower-order
thinking skills tidak penting. Kemampuan mengingat, memahami, dan
mengaplikasikan justru menjadi fundamental yang sangat esensial dalam memahami
sesuatu. Tanpa fundamental yang kuat, akan sulit seseorang mengembangkan higher-order
thinking skills. Ibarat berusaha menjadi fisikawan teoretis tanpa memahami
tabel periodik atau Hukum Newton.
Untuk itulah, pemahaman mendasar terkait pengetahuan tetap
perlu kita kuasai. Jangan sampai ketergantungan terhadap AI menumpulkan lower-order
thinking skills kita. Jika pelajar kita sedikit-sedikit menggunakan AI
untuk menyelesaikan soal-soal matematika dasar, konsep fundamental ekonomi,
serta menulis esai argumentatif, generasi macam apa yang akan kita hasilkan
nanti? Generasi yang malas berpikir karena berpikir sudah terlalu dimudahkan.
Memanjakan kesepian
Dampak lain yang tak kalah penting adalah efeknya pada
relasi sosial manusia. Awal April lalu, OpenAI dan MIT Media Lab menerbitkan
penelitian berjudul ”How AI and Human Behaviors Shape Psychosocial Effects of
Chatbot Use: A Longitudinal Controlled Study”. Studi ini bertujuan memahami
dampak psikososial dari interaksi manusia dengan chatbot AI
yang semakin menyerupai manusia?
Riset menemukan bahwa sebagian pengguna yang tergolong heavy
users pada akhirnya mengembangkan keterikatan emosional yang kuat
dengan AI, memiliki ketergantungan, serta berdampak buruk pada tingkat kesepian
mereka di dunia nyata. AI yang semakin mirip manusia, khususnya dengan fitur
mode suara, membuat sebagian orang menyubstitusikan relasi manusia mereka
dengan AI.
Meski dampak lebih lanjut terhadap kesehatan mental masih
terlalu dini untuk dibicarakan, ada baiknya kita memikirkan strategi preventif
sejak dini. Apalagi, sejumlah kasus bunuh diri yang diasosiasikan dengan chatbot AI
mulai bermunculan.
Pada tahun 2024, satu kasus melibatkan seorang remaja berusia 14 tahun di Florida yang menjalin relasi serius dengan karakter AI fiksi Daenerys Targaryen dari serial Games of Thrones. Tahun sebelumnya, seorang laki-laki dewasa di Belgia juga bernasib sama setelah berminggu-minggu menjalin relasi intens dengan karakter AI bernama Eliza.
Pada akhirnya, AI hanyalah alat yang seharusnya membantu
manusia. Bersikap anti sama sekali dan menolak AI sepenuhnya tentu tidak
produktif. Namun, sebaliknya, kebablasan mengandalkan AI dalam setiap aspek
kehidupan kita juga kurang bijak.
Dengan segala baik-buruknya, sudah saatnya kita menempatkan AI sesuai porsinya serta memikirkan bersama cara menjalin relasi yang sehat dan produktif dengan AI. Jangan sampai akal imitasinya semakin cerdas, tetapi manusianya semakin jauh dari kata cerdas. Bahaya.[]