![]() |
Sumber: Republika |
Mesir untuk pertama kali melakukan latihan militer bersama dengan China pada April dan Mei 2025. Militer China pada Senin 5 Mei 2025 untuk pertama kali merilis pesawat-pesawat tempurnya terbang di langit Mesir.
Latihan militer bersama China-Mesir itu menunjukkan mulai
ada perubahan lanskap peta poros kemitraan di Timur Tengah. Mesir yang selama
beberapa dekade dikenal sebagai mitra strategis AS dalam militer dan keamanan
kini mulai berpaling ke China.
Mesir juga mulai membeli alutsista dari China dalam upaya
mengurangi ketergantungannya kepada AS. Pada Oktober 2024, Mesir secara
mengejutkan mengumumkan pembelian pesawat tempur buatan China paling mutakhir,
J-10 C.
Mesir merupakan negara kedua setelah Pakistan yang mendapatkan
pesawat tempur J-10 C dari China.
Kecanggihan pesawat tempur buatan China, J-10 C, kini teruji, menyusul J-10 C milik Pakistan diberitakan berhasil menembak jatuh 5 pesawat tempur India yang terdiri dari MiG dan Su-30 buatan Rusia serta Rafale buatan Perancis dalam pertempuran udara di atas langit Kashmir pada Rabu, 7 Mei 2025.
Selama ini tulang punggung kekuatan angkatan udara Mesir adalah pesawat tempur buatan AS, F-16 C, dan buatan Perancis, Mirage 2000. Mesir juga berunding dengan Rusia dan Perancis untuk mendapatkan pesawat tempur MiG-29s dan Su-35s dari Rusia serta pesawat tempur Rafale dari Perancis dalam program modernisasi angkatan udaranya.
Mesir pada awal April 2025 juga mengumumkan penempatan
sistem antiserangan udara buatan China yang paling mutakhir, HQ-9B. Kecanggihan
HQ-9B diterangai setara dengan sistem antiserangan udara buatan Rusia yang
paling mutakhir, S-400.
Bagi Mesir, memiliki sistem antiserangan udara canggih
sekelas HQ-9B sangatlah penting setelah melihat pesawat-pesawat tempur canggih
Israel secara sewenang-wenang terbang dan membombardir Lebanon, Yaman, Suriah,
dan Iran tanpa ada balasan.
Sebuah sistem rudal antiserangan udara S-400 Triumf melintas di Lapangan Merah, Moskwa, dalam parade Hari Kemenangan pada Jumat (9/5/2025).
Iran yang memiliki sistem antiserangan udara buatan Rusia
cukup canggih, S-300, ternyata tidak mampu menghadapi serangan udara
besar-besaran Israel ke Iran pada akhir Oktober 2024. Belajar dari pengalaman
Iran, Mesir bergegas mendapatkan sistem antiserangan udara yang lebih canggih
dari S-300 dan kemudian didapatkan dari China, yaitu HQ-9B.
Mesir pun dalam kecanggihan sistem antiserangan udara kini setara dengan kekuatan Turki yang telah memiliki sistem antiserangan udara buatan Rusia paling canggih, S-400, untuk menghadapi pesawat tempur canggih Israel, seperti F-35. Mesir mengumumkan pula pembelian rudal canggih jarak jauh dari udara ke udara buatan China, HD-1A, yang menurut rencana akan dipasang di pesawat tempur buatan Perancis, Rafale, yang baru dibeli Mesir dan J-10 C. HD-1A memiliki jangkauan tembak sejauh 290 kilometer.
Pesawat tempur Mesir, dengan memiliki HD-1A, bisa menembak
sasaran musuh dari jarak jauh, tanpa harus masuk ke dalam wilayah musuh. Mesir
belajar hal itu dari pesawat tempur Israel yang ketika menyerang Iran pada
akhir Oktober 2024 cukup berada di wilayah udara Irak dan menembakkan ke
sasaran Iran dari wilayah Irak.
Hal itu yang membuat S-300 milik Iran tidak bisa menjangkau
posisi pesawat tempur Israel yang memang jauh dari wilayah udara Iran. Mesir
mengumumkan pula akan membeli pesawat drone buatan China, Wing
Loong, dan pesawat latih K-8E.
Foto yang diambil 25 Februari 2018 ini mendokumentasikan model pesawat tanpa awak Wing Loong II yang dipersenjatai dengan rudal. Pesawat tanpa awak ini dipajang dalam pameran industri pertahanan keamanan produk China National Aero-Technology Import Export Corp saat konferensi pesawat tanpa awak militer di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Gerakan Mesir memilih China sebagai sumber pasokan baru bagi proses modernisasi alutsitanya menemukan momentum setelah meletus perang Gaza yang melahirkan ide dari Presiden AS Donald Trump tentang relokasi warga Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa ke Mesir dan Jordania. Mesir yang menolak keras ide relokasi warga Gaza itu menghadapi berbagai tekanan dan ancaman dari AS.
Presiden Trump sering mengancam akan mengurangi bantuan
permanen AS yang kini sebanyak 1,3 miliar dollar AS per tahun ke Mesir jika
Kairo terus menolak proyek relokasi warga Gaza itu. Bantuan permanen tersebut,
yang sebagian besar berupa bantuan militer, diperoleh Mesir sejak perjanjian
damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979.
Tidak nyaman dengan hal itu, Mesir memilih menoleh ke China,
termasuk sumber pasokan alutsistanya. Mesir dan juga dunia Arab tentu sangat
berharap teknologi militer China semakin terus berkembang sehingga bisa
dijadikan sandaran baru dalam menghadapi hegemoni Israel yang mendapat pasokan
alutsista tak terbatas dari AS.
Sebaliknya China yang kini terlibat perang dagang sengit
dengan AS menemukan momentum lewat Mesir sebagai pijakan untuk mengembangkan
pengaruh militernya di Timur Tengah.
Jika kolaborasi militer China-Mesir terus berkembang, tidak tertutup kemungkinan dalam beberapa tahun mendatang China bisa bersaing dengan AS dalam kekuatan militer di Timur Tengah. China saat ini hanya memiliki satu pangkalan militer di kawasan Timur Tengah dan Afrika, yaitu di Djibouti. [Red]