![]() |
Foto: AI Generative |
NARRAN.ID, SASTRA -- Senja itu, sambil menunggu waktu berbuka puasa, saya meluangkan waktu untuk berselancar di media sosial. Meski berita-berita yang berseliweran belakangan ini kerap membuat saya mengelus dada, apa yang saya temukan saat itu membuat saya tersentak.
Waktu boleh berganti bulan, tapi ancaman terhadap jurnalisme tidak juga surut. Beberapa waktu lalu, kantor berita Tempo kembali menerima paket yang tidak menyenangkan. Setelah kepala babi, kini mereka mendapat kiriman enam ekor tikus yang telah terpenggal. Paket itu datang hanya dua hari setelah teror pertama. Hingga kini, pelakunya belum teridentifikasi.
Beragam spekulasi muncul menanggapi peristiwa tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk peringatan atas sikap kritis Tempo terhadap pemerintah. Ada pula yang menganggapnya sebagai reaksi dari publik terhadap gaya pemberitaan Tempo yang dinilai provokatif. Apa pun itu, kejadian itu mengingatkan saya pada kisah Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di Kota Thaif. Sebuah cerita yang mengajarkan bahwa menyuarakan kebenaran bisa terasa seperti menggenggam bara api. Begitu pula yang dilakukan para jurnalis.
Apa yang dialami Tempo bukan hal baru. Berdasarkan laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2024 telah terjadi 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik, teror, intimidasi, hingga ancaman. Yang paling sering terjadi adalah kekerasan fisik dengan 20 kasus, teror sebanyak 14 kasus, dan ancaman sebanyak 9 kasus. Bahkan, satu jurnalis harus kehilangan nyawa dalam tugasnya.
Adalah Sempurna Pasaribu, jurnalis Tribrata TV, yang tewas bersama istri dan anaknya dalam kebakaran rumah pada Kamis malam di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Rumahnya dilahap api saat mereka sedang terlelap. Sempurna sedang menyelidiki dugaan keterlibatan aparat berinisial HB dalam jaringan judi lokal. Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Keterlibatan aparat dalam kasus tersebut hanya menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis oleh institusi negara.
Masih mengacu laporan AJI, polisi dan tentara menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis dengan jumlah tertinggi, masing-masing sebanyak 19 dan 11 kasus. Selain aparat, kekerasan juga datang dari organisasi masyarakat. Ormas tercatat telah melakukan 11 kali serangan terhadap jurnalis sepanjang 2024.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kekerasan terhadap jurnalis tidak lagi dilakukan secara diam-diam, tetapi terang-terangan. Ketika Tempo menerima kepala babi, Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan yang juga pernah menjadi juru bicara pasangan Prabowo-Gibran, hanya menanggapi dengan berkata, "Udah, dimasak saja."
Ucapan itu terdengar ringan, bahkan jenaka, tetapi dalam konteks demokrasi, ia menjadi berbahaya. Pertama, pernyataan tersebut mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap pers. Kedua, pemerintah bukan hanya tidak percaya, tapi juga memperlihatkan ketidakpercayaan itu secara terbuka kepada publik. Sikap ini sangat berisiko bagi iklim kebebasan pers. Ketika penguasa mulai meremehkan kerja jurnalistik, publik pun terdorong melakukan hal serupa.
Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise menjelaskan bahwa era ini ditandai dengan melemahnya kepercayaan terhadap para ahli. Publik lebih percaya pada apa yang ingin mereka percayai, ketimbang pada fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam konteks ini, jurnalis menghadapi tantangan berat. Mereka tidak hanya berhadapan dengan sensor atau represi, tetapi juga dengan banjir informasi yang menyesatkan dan rasa percaya diri publik yang berlebihan.
Thaif adalah cermin dari masa kini. Kota itu menyaksikan penolakan keras terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW. Beliau dihina, diusir, dan dilempari batu. Namun, beliau tidak gentar. Ia terus menyampaikan pesan kebenaran meski harus menahan luka.
Hari ini, para jurnalis yang berpegang pada prinsip kebenaran mengalami hal serupa. Mereka melaporkan apa yang mereka temukan di lapangan, tetapi dibalas dengan ancaman. Mereka menyuarakan fakta, tapi dituduh menyebar provokasi. Mereka bekerja demi kepentingan publik, tetapi justru diserang oleh publik sendiri.
Menggenggam bara api bukan hanya metafora. Ia benar-benar terasa perih bagi siapa pun yang melakukannya. Seperti Nabi yang tetap melangkah keluar dari Thaif dengan darah mengalir di kaki, para jurnalis tetap menulis meski tahu bahwa ada risiko besar menunggu.
Saat pilar-pilar demokrasi lain mulai keropos, jurnalisme masih berusaha berdiri. Tapi mereka tidak bisa berjalan sendirian. Mereka butuh ruang aman. Butuh perlindungan hukum. Butuh solidaritas dari kita semua.
Kini kita dihadapkan pada dua pilihan. Apakah kita akan berdiri bersama mereka yang menggenggam bara api demi menyuarakan kebenaran? Atau diam saja, seperti penduduk Thaif yang hanya tahu cara melempar batu?
Penulis: Gielbran Muhammad Noor
#Jurnalisme #Sastra #Metafora #NabiMuhammad #Islam