![]() |
Foto: Getty Images |
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa pengerahan personel ini tidak dipicu oleh kondisi darurat atau ancaman tertentu, tetapi semata-mata merupakan kelanjutan kerja sama yang telah terjalin dalam tugas-tugas dukungan keamanan.
“Ini bukan karena ada kejadian khusus. Kami tetap menjunjung prinsip bahwa TNI tidak masuk dalam proses hukum atau kegiatan institusi penegak hukum lainnya secara langsung. Ini hanya bentuk sinergi,” ujar Wahyu, seperti dikutip Kompas.com, Minggu (18/5).
Surat Telegram Panglima Jadi Sorotan
Polemik mencuat setelah beredarnya Surat Telegram Panglima TNI Nomor TR/442/2025 tertanggal 6 Mei 2025. Surat itu memuat perintah kepada jajaran TNI untuk menyiapkan personel dan perlengkapan dalam rangka membantu pengamanan di lingkungan kejaksaan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Instruksi ini menimbulkan pertanyaan, terutama mengingat peran TNI yang seharusnya dibatasi dalam urusan non-pertahanan. Beberapa pihak mempertanyakan urgensi pengerahan tersebut dan apakah langkah itu memiliki dasar hukum yang kuat.
Kritik Masyarakat Sipil: "Militerisasi Institusi Sipil?"
Respons keras datang dari kalangan masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyebut langkah itu menabrak konstitusi dan memperkuat praktik militerisme dalam lembaga penegakan hukum sipil.
“Pengerahan TNI di lingkungan kejaksaan bisa menjadi preseden buruk dan mengaburkan batas sipil-militer,” ujar aktivis keamanan, seperti dikutip dari Kompas.com. Mereka juga mengkritisi Kejaksaan yang dinilai tidak transparan dalam menjelaskan tujuan dan mekanisme kerja sama tersebut.
Senada dengan itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, menyebutkan bahwa langkah ini justru mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Ia menekankan bahwa Kejaksaan sebagai institusi hukum seharusnya menunjukkan kemandirian, bukan justru menggandeng kekuatan militer untuk mendukung pengamanan internal.
Kejaksaan Agung: Ini Bentuk Dukungan
Menanggapi sorotan tersebut, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar menyatakan bahwa kerja sama ini bersifat terbatas dan hanya dalam konteks pengamanan lingkungan kejaksaan.
“Tidak ada pengerahan untuk intervensi hukum atau kegiatan teknis. TNI hadir untuk mendukung stabilitas dan keamanan lingkungan kejaksaan,” jelas Harli, menegaskan bahwa ini bukan respons terhadap ancaman nyata terhadap jaksa, melainkan bentuk preventif.
Akankah Tetap Berlanjut?
Meski TNI dan Kejaksaan sama-sama menegaskan bahwa kerja sama ini bukan hal baru, perdebatan mengenai batas peran militer dalam kehidupan sipil tetap mengemuka. Sejumlah pihak mendesak agar praktik semacam ini dievaluasi dan, jika perlu, ditinjau ulang melalui instrumen hukum yang jelas.
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia, menilai bahwa TNI seharusnya lebih selektif dalam menanggapi permintaan bantuan dari institusi non-militer, demi menjaga profesionalisme dan citra netralitasnya di mata publik.