![]() |
Sumber: Balairungpress |
SSS, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu, langsung ditangkap tanpa dipanggil lebih dulu. Polisi kemudian menjeratnya dengan pasal “melanggar kesusilaan” dan “memanipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data autentik” dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penggunaan dua pasal tersebut sangat mengada-ada. Polisi justru yang menafsirkan bahwa meme Prabowo-Jokowi beradu bibir merupakan gambar keduanya sedang berciuman secara intim. Polisi seakan-akan percaya bahwa yang disebarkan merupakan informasi atau dokumen pribadi yang nyata. Padahal gambar tersebut dibuat dengan aplikasi kecerdasan buatan, yang tujuannya bukan untuk memanipulasi agar dianggap autentik.
Orang waras tak akan menganggapnya sebagai gambar asusila. Mereka tahu bahwa itu gambar rekayasa belaka yang dibuat sebagai lelucon. Sebagian orang bisa memaknainya sebagai kritik terhadap kekuasaan. Toh, sudah bukan rahasia umum Prabowo dan Jokowi memiliki hubungan yang lengket sehingga memunculkan isu adanya matahari kembar dalam pemerintahan. Sejumlah orang akan menyebutnya sebagai sindiran karena dulu Prabowo dan Jokowi berlawanan, tapi kini berangkulan.
Yang lain mungkin menafsirkan meme tersebut dibuat untuk mengingatkan kita pada fraternal kiss atau ciuman persaudaraan antara Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev dan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker, pada 1979. Setelah tembok Berlin runtuh pada 1989, seniman Dmitri Vrubel melukis adegan ikonik itu dan membubuhi kalimat: "Tuhan, Tolong Aku untuk Bertahan dari Cinta yang Mematikan Ini".
Gambar serupa juga ada di tempat lain. Di Lithuania, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dilukis sedang berciuman sedang Presiden Rusia Vladimir Putin. Di Jerman, seniman membuat grafiti Trump dan Presiden Cina Xi Jinping—keduanya mengenakan masker—saling menempelkan bibir. Kita tahu bahwa gambar-gambar tersebut merupakan kritik terhadap realitas, sebagaimana meme Prabowo-Jokowi yang juga satire. Bedanya, jika sebelumnya dipampangkan di tembok dan dilukis tangan, kini gambar bisa dibuat secara digital lewat aplikasi AI.
Jika pengenaan kedua pasal tadi sebenarnya rapuh, barangkali satu-satunya alasan polisi menangkap mahasiswa ITB itu karena mereka atau elite politik tak tertawa dengan kejenakaan meme Prabowo-Jokowi. Mereka boleh saja tidak punya selera humor atau kesal sekalipun, tapi jangan mempidanakan orang dan membungkam kebebasan berekspresi.
Polisi memang telah menangguhkan penahanan mahasiswa ITB tersebut, tapi tak menghentikan kasusnya. Tuduhannya yang dialamatkan kepada si mahasiswa masih berlaku. Nasibnya digantung, dia bisa ditahan lagi sewaktu-waktu. Polisi tetap tidak mengakui bahwa meme tersebut merupakan bentuk kebebasan berekspresi warga negara. Mereka masih berlagak sebagai pemegang tafsir tunggal kesusilaan. [Red]